Bioinformatika, Genome &  The Final Frontier   Jakarta  - Opening dari serial Star Trek selalu terngiang dalam kalbu penggemarny...


Bioinformatika, Genome & The Final Frontier


 
Jakarta - Opening dari serial Star Trek selalu terngiang dalam kalbu penggemarnya, 'Space, The Final Frontier'. Namun tahukah Anda, bahwa bagi bioinformatikawan, 'final frontier' tersebut adalah diri kita sendiri? Apa maksudnya?

Bioinformatika adalah backbone science yang bertanggung jawab untuk proyek pengurutan Genome (Genome Sequencing Project). Apa yang diurutkan di sini? Tidak lain adalah 3 molekul utama yang terlibat dalam Dogma Sentral Biologi -- yaitu DNA, RNA, dan Protein.

Pengurutan informasi biologis tersebut diharapkan dapat memberikan pencerahan lebih lanjut untuk pemgembangan dunia kedokteran ke depan. Hanya saja, karena ada tumpang-tindih antara kepentingan negara dan swasta, hal ini sempat menjadi kontroversial.

Perseteruan Francis Collins dari NIH (National Institute of Health) dan John Craig Venter dari Celera Genomics dalam Human Genome Project adalah salah satunya. Walau akhirnya Bill Clinton campur tangan dan menyelesaikan konflik legal ini, ternyata secara ilmiah, masih sangat banyak yang harus dilakukan. 'Final Frontier' ini ternyata masih didominasi oleh blank area.

Menuju Perbatasan Pengetahuan Biologis

Data yang dihasilkan dari berbagai proyek pengurutan Genome telah disimpan pada database online, yang dimiliki oleh tiga konsorsium. NCBI/Genbank di Amerika Serikat, EBI di Uni Eropa, dan DDBJ di Jepang.

Ketiga konsorsium dunia tersebut, sebagai penguasa lalu lintas data bioinformatika, banyak sekali menentukan jalan dan arah dari riset bioinformatika secara global.

Computational tools yang powerful sangatlah diperlukan. Genome adalah 'Sistim Operasi' dari semua organisme, sementara Protein adalah 'Aplikasi' yang memiliki fungsi tertentu dalam organisme tersebut. Itu adalah pemahaman konvensional Dogma Sentral.

Namun ternyata, tidak hanya Protein yang berfungsi sebagai 'Aplikasi'. Ada hal lain, yang berfungsi sebagai 'Aplikasi' juga. Mereka adalah Marka Epigenetika dan Non Coding RNA. Apakah mereka itu?

Secara singkat, Marka Epigenetika adalah perubahan fenotip, tanpa ada perubahan urutan basa DNA. Sementara ncRNA adalah salah satu 'anomali' dalam dogma sentral, dimana RNA tidak ditranslasikan menjadi protein, namun langsung berperan dalam proses biologis.

Seleksi Alam Darwinian telah membiarkan Genome, sebagai 'Sistim Operasi', untuk mengoperasikan ketiga aplikasi tersebut (Protein, Marka Epigenetika, dan ncRNA). Hanya saja, dengan kemajuan pesat dalam ilmu bioinformatika, maka terbukalah jalan untuk melakukan 'Seleksi Artifisial', dalam arti menggunakan ketiga 'Aplikasi' tersebut untuk dunia kedokteran.

Adapun, walau riset Bioinformatika telah berkembang pesat dengan berlimpahnya data-data, masih banyak yang belum diketahui. Menurut Thomas Languer, pakar bioinformatika dari Max Planck Institute of Computational Biology, Jerman, menganggap bahwa menguasai bioinformatika akan segera bisa menghasilkan obat dan agen terapetik untuk berbagai penyakit, itu adalah hal yang ambisius.

Hal yang realistis untuk jangka pendek adalah pengembangan agen deteksi penyakit. Urutan eksperimen yang panjang, dimana bermuara pada Uji Klinis, adalah hal yang memerlukan ketekunan. Fase uji klinis bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan, sebab ada komisi etika yang harus mengevaluasinya.

Lebih 10 tahun setelah HGH selesai, kita memasuki 'uncharted water' sekali lagi. Banyak pemahaman kita mengenai biologi molekuler harus didekonstruksi sampai ke akar-akarnya.

Bioinformatika telah menemukan, bahwa non coding gene sangat berperan dalam ekspresi genetik. Urutan basa DNA, yang pada awalnya disangka 'sampah', ternyata memiliki fungsi yang sangat penting dalam regulasi genetik.

IT sebagai Backbone dari Bioinformatika

Perkembangan software dan hardware komputer sudah mencapai titik yang sangat menggembirakan. Jika sebelumnya Genome manusia tidak dapat disave pada komputer desktop, sekarang data yang sama dapat disimpan pada sebuah USB.

Portabilitas hardware yang sangat luar biasa ini, membuka peluang bioinformatika untuk dapat diaplikasikan sebagai alat deteksi dini. Thomas Languer dan grupnya sedang mengujinya di tingkat klinis. Metode Cluster Computation telah memungkinkan untuk mengolah data genome, epigenetik, dan transcriptomik dalam skala terrabyte sekalipun.

Dibandingkan 10 atau 20 tahun yang lalu, dimana kemampuan komputasi PC masih terbatas, sekarang melakukan riset full scale dalam bidang bioinformatika di sebuah PC Desktop (stand alone) sangatlah dimungkinkan. Banyak publikasi ilmiah yang dihasilkan dari riset seperti itu, namun banyak juga yang dihasilkan dari Cluster Computation.

Grup riset di akademik dan lembaga penelitian memerlukan suatu platform software yang ekonomis, scalable, configurable, dan secure. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Free and Open Source Software/FOSS menjadi pilihan utama.

Paket software bioinformatika pada umumnya dikembangkan secara ekstensif pada platform Linux, yang sejauh ini telah berjasa dalam membantu bioinformatikawan mencetak sekian banyak publikasi ilmiah.

Jepang, Pemimpin Asia Dalam Bioinformatika

Sejauh ini, satu-satunya negara asia yang berpartisipasi pada konsorsium Genbank baru Jepang. Hal ini menandakan kepemimpinan mereka dalam riset Bioinformatika. Profesor Minoru Kanehisa, dari Universitas Kyoto, adalah satu dari segelintir programmer awal pada proyek NCBI/Genbank di Amerika Serikat.

Di Jepang, mereka mengerjakan proyek Transcriptomik dan Epigenetika yang sejajar tingkat kesulitan dan konten ilmiahnya dengan dunia barat. Walaupun demikian, negara asia lain seperti Singapura, Korea Selatan, RRC, India, dan Taiwan juga berpacu dengan Jepang.

Bagaimana dengan kita? Bagi siapapun yang tertarik mendalami bioinformatika, mari kita berkolaborasi dalam kompetisi global ini! Let’s breach the final frontier and explore the galaxies! 

0 komentar: