HUKUMAN MATI DIKAMPUNG PECAH KULIT
Kurang lebih 288 tahun lalu disebuah tempat yang terletak dikawasan Jacatra Weg (sekarang Jl. Pangeran Jayakarta), tepatnya didekat Gereja Portugis “Sion”, sebuah peristiwa hukuman mati untuk seseorang yang dicap sebagai pemberontak oleh pemerintahan Batavia pernah menjadi sebuah kisah tentang betapa rendahnya nilai kemanusiaan dimasa itu.
**
Adalah Pieter Erberveld. Seorang warga Batavia berdarah Indo-Jerman. Ayahnya merupakan penyamak kulit berdarah Jerman. Sedangkan ibunya berasal dari Negeri Siam. (Historical Sites Of Jakarta; Adolf Heuken – Sedangkan dalam bukunya Betawi Queen Of East, Alwi Shahab menyebutkan ibu Pieter Erberveld berasal dari Jawa).
Tidak diketahui dengan jelas sumber kebencian Pieter Erberveld kepada penguasa Belanda di Batavia, namun beberapa sumber menyebut konflik bermula akibat ketidakadilan pemerintah Batavia dalam kasus-kasus tanah di wilayah Pondok Bambu.
Sebagai salah seorang tuan tanah di Pondok Bambu, Pieter Erberveld merasa dirugikan ketika pemerintah kolonial menyita ratusan hektar tanah miliknya dengan alasan tanah tersebut tidak memiliki izin yang dikeluarkan pejabat berwenang.
Perlawanan dilakukan Pieter Erberveld terhadap kesewenangan yang dilakukan pemerintah kota. Dalam perlawanannya Pieter mendapat banyak simpati dan dukungan dari warga pribumi yang memang telah membenci pemerintahan Belanda di Batavia. Akibat perlawanannya itu Pieter Erberveld mendapat hukuman tambahan dari pemerintah kota. Ia dikenakan denda berupa 3300 ikat padi yang harus dibayarkan kepada pemerintah.
Kebencian yang semakin menjadi-jadi ini menyebabkan hubungan Pieter dengan warga Belanda di Batavia merenggang. Disisi lain, sikap simpati yang ditunjukkan warga pribumi terhadapnya semakin mengeratkan hubungan Pieter Erberveld dengan masyarakat bumiputera. Apalagi setelah ia berhasil menjalin hubungan dengan beberapa ningrat di kesultanan Banten.
Terciumnya hubungan Pieter dengan Kesultanan Banten membuat pemerintah kota Batavia gerah. Betapa tidak, saat itu Kesultanan Banten masih merupakan ancaman bagi kelangsungan pemerintahan Belanda di Batavia. Bahkan kabar bahwa Pieter Erberveld termasuk dalam kalangan orang-orang yang membenci pemerintahan Belanda di kota Batavia semakin membuat panas suasana.
Sebuah laporan resmi yang diterbitkan intelejen kolonial menyebutkan, Pieter Erberverld dengan dukungan dari kesultanan Banten (Raden Kartadirya) serta seorang pemuda Sumbawa bernama Layek telah merencanakan pemberontakan besar-besaran terhadap penguasa Belanda di Batavia. Ia berencana membunuh seluruh warga Belanda di Batavia.
Hari-H pemberontakan akan dilaksanakan pada 31 Desember 1721, atau tepat pada saat pesta malam pergantian tahun 1722 (dalam bukunya De Nederlandsch Oostindische Compagnie in de Achtiende eeuw;sejarawan Belanda Prof Dr.E.C. Goode Molsbergen meragukan kebenaran rencana pemberontakan ini. Goode menyebut rencana tersebut hanyalah konspirasi pemerintah kota Batavia untuk menyingkirkan Pieter Erberveld) .
Berdasarkan laporan tersebut pemerintah Batavia mengutus Reeyke Heere (Komisaris VOC untuk urusan Bumiputera) untuk melakukan penangkapan terhadap Pieter bersama dengan komplotannya (termasuk Raden Kartadirya & Layeek). Ia dipenjara dan dipaksa untuk mengakui rencana pemberontaknnya.
Kurang lebih empat bulan Pieter dipenjara. Sebelum akhirnya ia dan kelompoknya dijatuhi hukuman mati pada tanggal 22 April 1722 atas perintah Collage van Heemradeen Schepenen (Dewan Pejabat Tinggi Negara).
Berbeda dengan hukuman mati yang biasanya dilakukan pemerintah Batavia dengan jalan memancung korban atau menggantungnya didepan Stadhuis , hukuman mati bagi Pieter Erberveld dilaksanakan diluar tembok Batavia sebelah Selatan. Tepatnya di tempat yang sekarang bernama Kampung Pecah Kulit. Hukuman tersebut sangat sadis. Masing-masing tangan dan kaki Pieter serta pendukungnya diikat pada empat ekor kuda yang dipacu ke empat penjuru mata angin yang berlawanan hingga putus dan terpecah-pecah (beberapa sumber mengatakan asal muasal nama Kampung Pecah Kulit diambil dari peristiwa tersebut) .
Sebagai peringatan agar penduduk tidak mengikuti jejak Pieter Erberveld, pemerintah kolonial memotong kepala Pieter Erberlveld dan menancapkannya pada sebuah tombak. Kepala tersebut dibiarkan tergantung tanpa boleh disentuh. Sementara dilahan bekas pembantaian berlangsung, dibangun monumen peringatan dilengkapi dengan tembok batu dan patung tengkorak tertusuk tombak diatasnya.
Pada monumen tersebut terpampang 9 baris tulisan berbahasa Belanda yang dilengkapi dengan terjemahan aksara Jawa Kuno. Kurang lebih isinya menyatakan :
“Sebagai kenang-kenangan yang menjijikan pada si jahil terhadap negara yang telah dihukum Pieter Erberveld. Dilarang mendirikan rumah, membangun dengan kayu, meletakan batu bata dan menanam apapun di tempat ini sekarang dan selama-lamanya. Batavia, 14 April 1722,” (Betawi, Queen Of East : Alwi Shahab).
Saat ini tidak jelas dimana keberadaan tembok monumen tersebut. Diduga monument tersebut dibongkar. Sedangkan lokasi bekas tempat pembantaian Pieter Erberveld di Jalan Pangeran Jayakarta juga telah berubah fungsi menjadi sebuah show room mobil sejak tahun 1986.
Yang pasti jika kita berkunjung ke Museum Sejarah Jakarta, kita masih dapat meilhat inskripsi Pieter Erberveld terpampang ditembok halaman belakang museum tersebut. Atau jika kita berkunjung ke Museum Prasasti-Jakarta , kita dapat melihat bentuk tembok monumen Pieter Erberveld lengkap dengan inskripsi dan patung tengkorak yang tertusuk tombak diatasnya. Apakah kedua peninggalan itu asli atau hanya sebuah replika ?. Silahkan cari tahu sendiri jawabannya.
* Foto : koleksi pribadi
0 komentar: